Saya, masyarakat pengecut; tentang kebebasan berpendapat
Ide
itu terkadang muncul dari mana saja, tidak peduli kita sedang apa.
Begitu pula dengan ide gambar karikatur yang saya buat. Saya
menemukannya saat sedang berbincang dengan teman di salah satu media blog.
Idenya mengenai hubungan antara pemerintah Indonesia, yang diwakili
presiden, dengan kedatangan Obama, pemerintah Amerika, nanti.
Saya
bukan tipe orang yang membenci presiden dan seluruh orang yang berada
di sistem pemerintahan, karena saya juga bisa seperti ini, secara
langsung atau tidak berhubungan dengan keberadaan sistem tersebut. Akan
tetapi saya selalu berada dalam pihak kebenaran menurut kepentingan saya
sendiri. Jadi wajar, dalam masalah melihat kualitas dan kapasitas
pemerintah, saya bisa berkoalisi atau beroposisi. Dan dalam konteks
kedatangan Obama, saya beroposisi.
Saya
tidak akan berbicara lebih jauh mengenai mengapa saya oposisi, karena
dalam artikel ini saya ingin menekankan pada hal lain. Tapi untuk
mencegah agar tidak terjadi salah paham, saya akan jelaskan sedikit
alasan saya. Amerika selalu identik dengan negara super power,
yang selalu arogan dan bermuka dua. Kondisi ini bisa jadi karena Amerika
dibangun oleh pemerintah yang bersifat seperti itu, dan atau bisa juga
karena Amerika adalah boneka yang digerakkan oleh “bayangan” dari
belakang layar. Jadi, bisa saja Obama “pernah” bersekolah (atau numpang
berak) di negara ini, tapi kedatangannya, pasti, dengan sejumlah agenda
kepentingan, yang saya rasa, tidak akan sejalan dengan agenda
kemerdekaan kebangsaan Indonesia.
Berkaitan
dengan karikatur yang saya buat, saya menciptakan sebuah sindiran
(frontal, kalau kata pacar saya) mengenai pemerintah Indonesia (yang
disimbolkan dengan presiden) yang sedang menjilat es-krim dengan rupa
Amerika (yang disimbolkan dengan presiden) berikut lembaga-lembaga dan
perusahaan multinasional yang berkait lainnya, seperti IMF atau World
Bank, Exxon, Freeport dan lain-lain.
Permasalahan
muncul ketika saya ingin menampilkan hal tersebut ke media publik,
dalam hal ini internet. Karena bagaimanapun juga kasus Mbak prita dan
kasus-kasus yang berhubungan dengan UU ITE, cukup membuat saya berpikir
berulang-ulang untuk menampilkan hasil opini saya tersebut. Padahal
dalam perundangan, diatur dengan jelas mengenai kebebasan berpendapat
warga negara Indonesia, diantaranya dalam (Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28
E ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I) UUD 1945, (Pasal 14, 19, 20,
dan 21) Tap MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, (Pasal
14, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 25) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, (Pasal 19) UU No 12 Tahun 2005.
Saya
bukanlah ahli hukum atau ahli tata negara, sehingga saya tidak begitu
mengerti bagaimana hukum yang mengatur kebebasan berpendapat di negara
ini. Tapi, ketika UUD 1945 sudah mengatur hal tersebut, berarti sudah
cukup dasar saya untuk mengeluarkan pendapat, bukan? Karena dalam bahasa
awam saya, UUD 1945 adalah dasar negara, berarti apapun yang dikatakan
peraturan perundangan atau produk hukum lainnya harus mengacu pada dasar
dari segala dasar hukum (dalam hal ini UUD 1945), bukan?
Tetapi
kenyataannya, hukum di negara ini malah bersifat karet. Bisa ditarik
kesana kemari, tergantung siapa yang mampu membeli dengan harga tinggi.
Bisa digunakan seenak jidatnya oleh mereka, segelintir orang atau
kelompok, yang merasa memiliki kuasa atau hak untuk melakukan apa saja.
Sedangkan komponen masyarakat lainnya, hanya dijadikan penonton yang
bisa dilempar kesana kemari tanpa mengerti mengapa mereka diperlakukan
seperti itu, walaupun mereka adalah warga negara Indonesia yang,
pastinya, memiliki hak yang sama di depan hukum.
Mungkin
saja ada penjelasan yang menyebutkan, misalnya saya mengeluarkan
karikatur tersebut, bahwa karikatur yang saya buat mengganggu ketertiban
umum, tidak bermoral dan tidak menghormati juga memfitnah hak orang
lain untuk hidup. Tapi, bukankah kata umum dalam ketertiban juga rancu?
Umum manakah yang dirujuk? Sebagian masyarakat perkotaan yang mendukung
simbol dalam karikatur saya dan atau mereka yang dibayar untuk merasa
terganggu ketertiban karena karikatur saya? Bagimana kalau saja saya,
dan beberapa teman saya yang sepakat, bilang kami terganggu dengan gaya
dan cara yang mereka (yang merasa terikat dengan simbol dalam karikatur
saya) lakukan dalam panggung sandiwara politik? Apakah itu juga termasuk
umum dalam konteks ketertiban umum?
Tidak
bermoral? Lalu bagaimana kita bersama menjelaskan perilaku para wakil
rakyat berikut mereka yang berada dalam sistem pemerintahan yang berlaku
tidak sebagaimana porsinya? Berteriak “huhuhu” dalam sidang kenegaraan?
Korupsi uang rakyat, tapi dibiarkan bebas berkeliaran? Menjalankan
sistem pemerintahan yang hanya menguntungkan beberapa kelompok, padahal
pemerintah harus dapat bersikap netral dalam melayani “masyarakat”?
Apakah kondisi tersebut lebih bermoral daripada apa yang saya lakukan?
Jika, ya, lalu apakah moral itu?
Tidak
menghormati dan memfitnah hak orang lain untuk hidup? Lalu bagaimana
kita bersama bisa menjelaskan lumpur sidoarjo, cicak vs buaya, century,
BLBI, penggusuran di lahan perkotaan, adakah disana penghormatan? Atau
perilaku bukan fitnah atas hak hidup orang lain? Ataukah karena saya
termasuk masyarakat kecil, jadi dianggap kecil karena bukan besar dan
tidak patut dihitung? Jadi saya bisa di represi dengan seenaknya saja.
Bukankah saya juga dihitung sebagai angka yang menghiasi kemenangan
beberapa orang yang merasa sebagai wakil masyarakat (maksudnya wakil
saya) di pemerintahan?
Sumber : http://politik.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar